Selasa, 29 Januari 2008

Desentralisasi Dalam Perspektif Proses Yang Berkelanjutan

Desentralisasi Dalam Perspektif Proses Yang Berkelanjutan

Oleh : Dr Machfud Sidik MSc

Pemerintahan modern di abad 21 dewasa ini harus menerapkan desentralisasi dengan berbagai variasinya, karena desentralisasi merupakan global trend dan salah satu pilar utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.

Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif

Desentralisasi sendiri bukanlah sesuatu yang baik, ataupun jelek (The World Bank, 2000). Desentralisasi hanyalah suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Hal pokok tentang desentralisasi pada dasarnya adalah, apakah disain, proses dan implementasi desentralisasi tersebut berhasil atau gagal untuk meningkatkan efisiensi dan kadar responsivitas kebijakan publik pemerintah terhadap kepentingan politis, ekonomi dan sosial masyarakatnya. Kegagalan implementasi desentralisasi terutama ditunjukkan dari kemunduran ekonomi, ketidak stabilan politik, dan merosotnya KUALITAS pelayanan publik di negara yang bersangkutan.

Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization); Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).

Desentralisasi Adminitratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.

Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu :

(1). Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan Pemerintah Pusat di Daerah.

(2). Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.

(3). Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).

Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena :

a. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;

b. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;

c. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

Suatu analogi argumen lainnya yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" (1956) yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemdanya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemdanya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, 1993). Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.

Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya. Mendukung pernyataan Tiebout dan para ahli lainnya yang disebut di atas, desentralisasi administrasi yang terkait dengan tugas-tugas pemerintahan sebagai decentralization is often thought to “bring government closer to the people”.

Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.

Tujuan politis untuk meningkatkan tingkat responsifitas birokrasi terhadap keinginan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyediaan pelayanan tersebut, memerlukan beberapa persyaratan penting untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi yaitu :

- Tahapan pelaksanaan desentralisasi harus realistis disesuaikan dengan pengembangan institusi, sistem dan prosedur dan mekanisme koordinasi di lingkup pemerintahan, dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia.

- Keselarasan antara proses penyerahan kewenangan fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemeritah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia dan dokumen.

- Disain dan kerangka kerja proses desentralisasi harus terkait dengan kemampuan keuangan dan kewenangan fiskal yang dimiliki oleh Daerah untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya, sehingga keinginan rakyat yang diwakili oleh DPRD dalam penyediaan barang publik diharapkan mampu didukung oleh partisipasi masyarakat dalam menanggung biaya atas penyediaan barang publik tersebut.

- Masyarakat lokal harus diberikan informasi yang transparan tentang beban yang mereka tanggung sebagai konsekuensi atas penyediaan barang publik tersebut terutama melalui sosialisi, debat publik dan dialog lainnya yang bermanfaat bagi peningkatan kebutuhan barang publik sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.

- Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan preferensinya dalam penyediaan barang publik melalui suatu mekanisme yang memungkinkan kehendak masyarakat tersebut dapat ditampung dalam proses pengambilan keputuan pada tingkat Pemerintah Daerah dan DPRD yang menghasilkan suatu Peraturan Daerah tentang penyediaan barang publik dan implikasi pembiayaannya.

- Adanya jaminan sistem akuntabilitas publik, transparansi dan tersedianya informasi keuangan dan pembangunan daerah yang memadai, sehingga memungkinkan masyarakat untuk memantau kinerja aparat Pemda, dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merespon secara proporsional terhadap kinerja Pemda yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Lingkungan ini memungkinkan baik aparat Daerah maupun DPRD dituntut untuk responsif terhadap aspirasi masyarakatnya.

- Instrumen desentralisasi terutama yang menyangkut aspek ketentuan perundangan, kelembagaan, struktur pelayanan yang menjadi tugas Pemda, maka mekanisme kontrol dan dukungan pembiayaan harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu untuk mendukung keinginan politis dari masyarakat.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut :

- Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement;

- Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.

Desentralisasi memberikan implikasi yang bervariasi terhadap kegiatan pembangunan antar daerah, tergantung pada pengaturan kelembagaan, dan disain menyeluruh dari pembagian wewenang dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Apabila pemerintah pusat dalam disain pembagian wewenang di sektor publik dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tidak ada upaya untuk mendistribusikan sumber daya alam kepada daerah yang lebih miskin, maka desentralisasi fiskal akan berakibat memperlebar disparitas antar daerah. Hal yang sama jika pemerintah propinsi tidak melakukan redistribusi sumber-sumber keuangan di antara Kabupaten/Kota di wilayahnya, banyak penduduk miskin bisa saja akan mengalami hambatan dalam menikmati pelayanan publik.

Berbagai studi empiris membuktikan bahwa desentralisasi tidak hanya gagal dalam meningkatkan pelayanan sektor publik pada tingkat lokal, tetapi bahkan mengakibatkan risiko ketidak stabilan nasional di bidang politik, ketata negaraan, sosial dan ekonomi. Risiko yang paling besar ketika sumber utama penerimaan pemerintah diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa diikuti langkah-langkah kebijaksanaan yang menjamin mobilisasi pendapatan daerah untuk membiayai berbagai pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah lokal. Argentina pada dekade 1980 dapat dijadikan contoh tentang kegagalan pelaksanaan desentralisasi tersebut, dan bahkan beberapa negara Eropah Timur dan Eropah Tengah. Namun, desentralisasi seharusnya tidak memberikan implikasi yang counter-productive tersebut. Usaha pemerataan antar daerah, penentuan standar minimal pelayanan sektor publik dan bantuan kepada daerah tertentu untuk kebutuhan yang sangat mendesak, pada dasarnya dilakukan melalui Block Grant, Specific Grant atau bentuk dana transfer lainnya. Desentralisasi akan memberikan dampak positif terhadap distribusi pendapatan masyarakat melalui kebijakan pengeluaran sektor publik, kebijakan fiskal dan disain intergovernmental transfers yang lebih menekankan pada kebijakan pengurangan kesenjangan antar daerah. Disparitas antar daerah yang dikoreksi melalui kebijakan intergovernmental transfers dengan berbagai formula yang relatif adil, diimbangi dengan standar ekualisasi telah dilaksanakan di berbagai negara antara lain China, Brazilia, Canada dan Rusia, dengan cara yang rasional, transparan dan akuntabel memberikan implikasi yang sangat positif bagi pembangunan daerah. Berbagai pengalaman empiris di berbagai negara memberikan petunjuk bahwa pelaksanaan asas desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah atau negara bagian yang lebih luas diimbangi dengan usaha stabilisasi di bidang politik, sosial dan ekonomi, memberikan hasil yang sangat menggembirakan.

Para ahli berpendapat bahwa efisiensi menjadi alasan utama untuk memilih pemerintahan regional yang lebih kecil dalam rangka desentralisasi fiskal. Jika keinginan tingkat pelayanan umum dalam beberapa kelompok masyarakat berbeda-beda dan ketiadaan eksternalitas, maka kesejahteraan nasional yang tertinggi akan tercapai jika komunitas lokal memilih preference-nya masing-masing sekaligus memberikan tingkat dan bentuk dari pelayanan masyarakat yang mereka perlukan sendiri. Desentralisasi juga memberikan ruang terhadap proses-proses politik yang menjamin pelaksanaan pemerintahan lokal yang efisien.

Kesuksesan pelaksanaan desentralisasi perlu didukung oleh pengadaan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan berkompeten terhadap sarana dan kapital untuk pengembangan pelayanan masyarakat yang diperlukan, administrasi pajak yang efisien, wewenang pemungutan pajak yang memadai agar dapat menjangkau seluruh tingkat pendapatan masyarakat dan golongan, elastisitas terhadap tuntutan pelayanan masyarakat, pejabat lokal yang representatif serta sedikit kerahasiaan dalam penyusunan anggaran dan tingkat pajak daerah kondisi-kondisi yang biasanya jauh lebih mudah dipenuhi oleh Pemerintah Daerah yang kaya, terutama di negara-negara berkembang daripada oleh Pemerintah Daerah yang pendapatannya rendah. Bahkan menurut Baht dan Naht (1997), negara-negara yang memberikan wewenang fiskal yang lebih besar kepada pemerintah lokal dan regional cenderung memiliki pendapatan yang lebih tinggi dan jauh lebih sukses dalam proses pembangunannya. Negara-negara ini biasanya juga memiliki populasi yang lebih besar, bersifat heterogen dan memiliki area tanah yang luas. Sebaliknya, negara-negara sentralistis cenderung mengalami perang dan terancam kerusuhan sipil.

Bertitik tolak dari konsepsi desentralisasi fiskal baik secara teoritis maupun empiris, Indonesia sebagai negara yang memiliki populasi tinggi, wilayah yang sangat luas dan heterogen, mulai mengimplementasikan desentralisasi fiskal efektif sejak Tahun 2001. Penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia diharapkan memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian serta pengelolaan fiskal dan moneter baik secara lokal maupun nasional. Manfaat ini dapat diperoleh dengan menumbuhkembangkan kehidupan yang demokratis, mendorong upaya pemberdayaan masyarakat, meningkatkan kinerja Pemerintah Daerah, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Regulatory framework yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan otonomi Daerah daan desentralisasi fiskal fiskal tersebut adalah UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 sebagaimana diubah masing-masing dengan UU No 32 dan No 33 Tahun 2004 terutama mengatur pembagian kewenangan (power sharing) dan keuangan (Financial Sharing).

Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Dalam tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal (APBN TA 2001), total dana yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan adalah sebesar Rp 82,40 triliun atau 5,6% dari PDB (APBN-P 2001), yang berarti total dana ke Daerah ini meningkat cukup tajam, karena apabila dibandingkan dengan realisasi dana yang didaerahkan TA 2000 hanya sebesar 3,3% dari PDB atau Rp32,9 triliun. Apabila dibandingkan dengan Penerimaan Dalam Negeri (PDN), persentase realisasi dana yang didaerahkan pada TA 2000 hanya berkisar 16% dari PDN, sementara untuk TA 2001 meningkat menjadi 27% (APBN-P 2001). Sementara bila dibandingkan dengan Belanja Negara, realisasi dana yang didaerahkan pada TA 2000 adalah sebesar 14,9% dari total Belanja Negara, sedangkan pada TA 2001 mencapai sekitar 23,2% dari Belanja Negara (Tabel 1).

Sementara itu, perkembangan dana yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan dalam TA 2002 (APBN TA 2002) mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu mencapai sebesar Rp94,53 triliun atau 5,6% dari PDB atau mengalami peningkatan 5,1% dibandingkan Dana Perimbangan TA 2001. Bila dibandingkan dengan PDN TA 2002, Dana Perimbangan tersebut mencapai 31,3% sedangkan bila dibandingkan dengan Belanja Negara TA 2002 mencapai 27,5%.

Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke Daerah melalui Dana Perimbangan telah menyebabkan pengelolaan fiskal Pemerintah Pusat dalam pengelolaan fiskal pemerintahan secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi pengelolaan fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya melalui APBD akan meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga dibarengi dengan kenyataan bahwa Daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut.

Meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah disempurnakan sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini dan mengingat Indonesia tergolong negara dalam usia yang relatif muda, kita harus banyak belajar dari sukses dan kegagalan negara-negara lain khususnya negara maju. Oleh karena itu sistem disentralisasi fiskal yang baru, masih memerlukan peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia.

Tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat: (1) meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan Pemerintah Daerah; (2) dapat memenuhi aspirasi dari Daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (3) meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat Daerah; (4) memperbaiki keseimbangan fiskal antar Daerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas di setiap Daerah; (5) menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. (6) Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal diperlukan keberadaan Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement. (7) Prinsip money follows function harus dilaksanakan secara konsisten seperti yang diungkapkan oleh Roy Bahl, 2001 “Fix the Assigment of Expenditure, then Assign Revenues in amount that will Correspond to the Expenditure Needs”). (8) Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan kebijakan fiskal khususnya untuk mendukung kebijakan makro ekonomi antara lain yang berkaitan dengan fiscal sustainability dan tetap memberikan ruang bagi Pemerintah Pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan antar Daerah, sehingga taxing power yang diberikan kepada Daerah tetap tidak terlalu besar .Pemberian kewenangan pelayanan publik kepada Daerah yang semakin besar tetap mempertimbangkan Expenditure Efficiency Principles, sehingga tetap diperlukan adanya national guidelines yang dibuat oleh masing-masing departemen yang menggabungkan antara preferensi Daerah dan national interest. Diperlukan penerapan sistem yang berbeda antara Kabupaten dan Kota dalam perlakuan perimbangan keuangan khususnya dalam perhitungan transfer dana ke Daerah (DAU dan DAK). Hal ini sejalan dengan adanya karakteristik yang berbeda antara Kabupaten dan Kota. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah (taxing power), sehingga penyimpangan penggunaan anggaran Daerah terutama yang berupa transfer dari Pusat dapat diperkecil atau bahkan ditiadakan. Pemerintah Pusat harus tetap mempertahankan komitmennya terhadap pelaksanaan desentralisasi dengan mematuhi perundang-undangan yang berlaku, sehingga kegiatan-kegiatan dalam rangka desentralisasi sepenuhnya kewenangan diberikan kepada Daerah. Bantuan Pemerintah Pusat yang berbentuk general grants (DAU) maupun revenue sharing (bagi hasil) diarahkan untuk (i) penciptaan keseimbangan fiskal baik vertikal maupun horizontal; (ii) menumbuhkan insentif dan/atau adanya kendali bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan segala fungsi/ kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik. Sementara untuk specific grants (DAK) diarahkan kepada pemberian insentif kepada Pemerintah Daerah untuk turut mensukseskan program-program nasional yang bersifat prioritas.

Tidak ada komentar: